Aku teringat ketika pada suatu waktu meminta pada ibuku untuk membelikan sebuah terjemah Al Qur’an. Itulah terjemah Al Qur’an pertama yang segera saja kubaca begitu sampai di rumah. Tak selang beberapa hari, ku dengar ibuku berbincang dengan kakakku tentang apa yang kulakukan—yakni segera membaca kitab tersebut setelah dibeli. Betapa senang beliau dengan hal itu.“Bekerjalah, hai keluarga Daud, untuk bersyukur kepada Allah. Sedikit sekali hamba-hambaKu yang bersyukur.”
(Saba’: 13)
Pelajaran penting pun kudapat. Hati ini amat senang kala melihat sebuah hadiah yang diberikan pada seseorang, segera dipergunakan dengan penuh antusias. Maka bentuk menghargai pemberian seseorang adalah mempergunakannya. Dihadiahi pakaian, kenakanlah. Dihadiahi makanan, santaplah. Dihadiahi ilmu, amalkanlah. Dihadiahi senyuman, terimalah, nikmatilah, dan biarkan senyumanmu membalasnya.
Sebaliknya, coba rasakan, ketika pemberian kita pada seseorang sama sekali tak digunakan. Diabaikan, hingga berdebu, bahkan rusak. Atau digunakan, namun untuk keburukan. Ah, mungkin terlalu jauh. Begini saja, pemberian kita, rupanya segera diberikan pada orang lain tanpa sempat digunakan. Apa yang terasa di dada? Kecewa? Sedih?
Maka bagian dari berterima kasih, bersyukur, adalah mempergunakan pemberian. Tak hanya itu, melainkan mempergunakan untuk kebaikan, dengan cara yang baik pula.
Potongan ayat di atas begitu unik, karena diletakkan setelah beberapa uraian sebelumnya tentang berbagai nikmat yang telah Allah berikan pada kelurga Nabi Daud as. Sebagaimana kita tahu, Nabi Daud as dan anaknya, Nabi Sulaiman as, Allah beri kerajaan yang teramat besar, anugerah kepemimpinan yang hingga kini tak pernah ada nan sanggup menyaingi. Sebab memang itulah doa yang telah dipanjatkan oleh Nabi Sulaiman as pada suatu kali, permohonan untuk diberi kerajaan yang takkan pernah ada orang lain memiliki setelahnya. Allah kabulkan doa itu, dan karenanya Allah perintahkan keluarga Daud untuk bersyukur dengan bekerja—menggunakan nikmat yang diberikan dengan sebaik-baiknya.
Ya, ini tidak salah. Bekerja adalah cara kita bersyukur atas nikmat yang telah kita terima. Dan karena kita tidak pernah berhenti menerima nikmat, kita pun tak layak untuk berhenti bekerja. Pekerjaan bukan beban, ia adalah kehormatan. Cobalah dengar apa yang ditanyakan orang tua seorang perempuan pada calon menantunya, kalau bukan soal apa pekerjaannya. Maka menuntaskan pekerjaan berarti mensyukuri kehormatan yang telah diberikan pada diri. Sisi lain, malas bekerja, atau bekerja asal-asalan, serupa dengan mengabaikan pemberian, yang amat dekat pada kekufuran.
Kekufuran?
Duh, benar. Balasan bagi yang kufur adalah azab yang pedih. Sedang balasan bagi syukur adalah kenikmatan yang bertambah-tambah. Maka kita lihat insan yang bekerja dengan sungguh-sungguh, bahkan melampaui apa yang diminta. Tidak saja kenikmatannya bertambah-tambah secara fisik, kebahagiaan pun terpancar dari wajahnya. Passionate, kata anak mudah zaman sekarang. Insan nan rajin bekerja kan meningkat keahliannya, seiring dengan bertambah pengalamannya. Jadilah ia ahli, yang harum namanya sebab sanggup atasi berbagai macam masalah.
Sementara insan yang gemar mengeluh, selain kerjanya biasa saja, karir pun terhambat, bahagia menjauh dari hatinya. Siapa yang sudi dekat-dekat dengan orang yang gemar mengeluh? Tak ada. Dia yang kufur pada nikmat bekerja, kan menurun kemampuannya, bersamaan dengan kualitas dirinya. Inilah azab dunia sebelum azab akhirat.
Sedikit sekali insan yang masuk dalam golongan gemar bersyukur. Ini terbukti. Bukankah jumlah orang yang karirnya melesat dan hidupnya bahagia itu terbatas? Lalu orang lain pun—para pengeluh itu—hanya bisa iri pada pencapaiannya, tanpa menyadari bahwa kekufuran mereka, kemalasan mereka, adalah penyebab menjauhnya kedamaian dari hati mereka.
Kerja kita, wahai diri, sekeras apapun, sejatinya takkan pernah setara dengan nikmat yang kita terima. Sebab bekerja itu pun menggunakan nikmat dariNya. Maka sungguh tak layak kemalasan hadir di dalam diri.
Sumber asli
0 komentar:
Posting Komentar